Zakat secara bahasa berarti an-namaa’ (tumbuh), az-ziyadah (bertambah), ash-sholah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.
Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa).
Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 23: 335)
Ada pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri. Istilah fithrah ini seperti disebut dalam ayat,
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. Ar-Rum: 30)
Waki’ bin Al-Jarah berkata zakat fitrah untuk bulan Ramadhan itu seperti sujud sahwi (sujud saat lupa) dalam shalat. Maksudnya, zakat fitrah ini untuk menutup kekurangan dalam menjalankan puasa sebagaimana sujud sahwi itu menutup kekurangan dalam shalat. (Mughni Al-Muhtaj, 1: 592)
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (6: 40) mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan zakat fithri disebut dengan “fithroh”. Istilah ini bukan istilah Arab, bukan pula istilah yang diarabkan, namun istilah yang digunakan oleh para fuqaha. Penyebutan seperti ini juga disebutkan oleh penulis kitab Al-Hawi.
Penyebutan fitrah di sini dengan maksud bahwa zakat fitrah itu bertujuan menyucikan orang yang berpuasa sehingga bisa kembali pada fitrahnya lagi atau sifat asalnya. Ini selaras dengan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Dua penyebutan itu maksudnya sama, yang penting kita tahu hakikatnya itu seperti itu. Sama seperti kita menyebut shalat wajib ataukah shalat fardhu, maksudnya kan shalat lima waktu.
Sebagaimana disebutkan dalam kaedah ulama ushul,
لاَ مُشَاحَّةُ فِي الاِصْطِلاَحِ
“Jangan terlalu meributkan masalah istilah.” Padahal tidak terlau urgent dalam hal ini untuk meributkannya.
Yang penting, yuk bayar zakat fitrah dengan makanan pokok kita (beras). Jangan lupa satu sha’ yah untuk setiap individu yang punya kelebihan makanan pokok di malam hari raya. Satu sha’ itu ukuran takaran berkisar antara 2,5 kg – 3,0 kg.
0 komentar:
Post a Comment